Oleh: Pramoedya Ananta Toer
Dunia Ketiga
Dunia Ketiga adalah belahan umat manusia yang setelah Perang Dunia II bersama dengan negerinya terbebas dari penjajahan Barat. Dengan Barat dimaksudkan juga Jepun. Penjajahan Barat diawali oleh pemburuan akan rempah-rempah Nusantara, terutama Maluku, dikembangkan melalui pengacak-acakan (kacau-bilau) seluruh dunia non-Barat, untuk dapat membawa segala yang berharga ke dunia Barat. Yang teracak-acak bukan saja mengalami perkosaan pelembagaan budaya, Iebih dari itu adalah pemiskinan yang sistematis. Pada pihak Iain Barat semakin membengkak dengan kemajuan, kekuasaan, keilmuan dan teknologi dengan bangsa-bangsa jajahan sebagai Iandasan percobaan. Doktrin-doktrin yang membenarkan penjajahan dilahirkan di Barat yang semua merugikan pihak bangsa-bangsa yang dijajah.
Kita menyaksikan Iahir dan berkembangnya imperium (empayar) dunia: Portugis dan Spanyol yang dibangun di atas perampasan emas dan perak, Inggeris yang dibangun di atas monopoli tekstil dan candu serta perbudakan (perhambaan), dan Belanda yang dibangun di atas monopoli rempah-rempah.
Sebahagian terbesar umat manusia telah dijajah oleh Barat, yang dalam jumlah nisbah jauh lebih kecil, namun bagaimanapun pokok utama yang menyebabkan nasib buruk bangsa-bangsa jajahan itu adalah ketidakmampuan budaya menghadapi ekspansi kegiatan dagang Barat. Dalam hal ini, dikecualikan Portugis dan Spanyol. Tapi pada keseluruhannya, terjadi sebagaimana dikatakan oleh Chiang Kai-shek, bahwa: tidak ada sesuatu bangsa bisa dijajah oleh bangsa Iain tanpa bantuan bangsa itu sendiri.
Produk (Kesan) penjajahan atas Dunia Keti secara budaya adalah: mentalitas bangsa jajahan yang belum tentu dapat hilang setelah tiga generasi bangsa itu hidup dalam alam kemerdekaan politik, kerana mentalitas bangsa yang dikalahkan berabad akan melahirkan kebudayaan bangsa kalah demi survivalnya sebagai bangsa kalah.
Tragedi pada Dunia Ketiga dengan kemerdekaan nasionalnya masing-masing terletak pada tidak atau kurang disedarinya kenyataan bahwa mereka masih hidup dan bernafas dengan kebudayaan bangsa kalah, dan mentalitasnya.
Produk jajahan atas Dunia Ketiga secara budaya pada pihak penjajah adalah: Demokrasi Parlementer, Hak-hak Asasi, yang dua-duanya memberi jaminan pada setiap individu untuk tumbuh menjadi kuat untuk dan atas namanya sendiri. Sedang pengalaman penjajahan berabad membentuk mentalitas sebagai bangsa unggul dan penakluk, yang juga tidak mudah hapus dalam tiga generasi, setelah bangsa-bangsa itu kehilangan jajahannya.
Apabila Dunia Ketiga dalam upayanya mengembalikan harga diri banyak berlindung pada apa yang mereka namai kebudayaan asli dan banyak kala tidak mengindahkan sumber sosial historisnya, malah tidak jarang menjualnya untuk pariwisata (pelancungan),dan bukan tanpa kebanggaan nasional kebudayaan asli yang terbukti secara sistem dan organisasi telah dikalahkan berabad.
Pada Dunia Barat dengan mentalitasnya sebagai bangsa unggul dan penakluk sampai dengan tahun delapan puluhan abad ini masih juga memproduksikan pandangannya yang menganggap Dunia Ketiga sebagai keanehan hanya kerana tidak sama dengan dirinya, hanya kerana perbedaan standar (taraf) yang sulit mereka sedari, dan kerana standar satu-satunya yang mereka kenal adalah miliknya. Contoh terakhir misalnya buku C.J .Koch The Year of Living Dangerously (terbitan Sphere Books United, London, 1981). Malah suatu gejala biasa bila Barzat tidak mau mengerti bahwa semua keterbelakangan (kemunduran) di Dunia Ketiga tidak Iain daripada ulah (tindakan) dunia Barat itu sendiri.
Penjajahan atas dunia non-Barat diawali oleh perlumbaan mendapatkan rempah-rempah Nusantara, terutama Maluku. Entah kerana kebetulan, entah kerana rancangan sejarah, secara teori, Nusantara pula yang mengawali putusnya penjajahan internasional sebagai tempat di mana mata rantai imperialisme dunia paling Iemah dengan Iahirnya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Beberapa hari setelah itu menyusul Vietnam. Sekali mata rantai putus, kejatuhan mata rantai-mata rantai yang lain. Dari Indonesia ke daratan Asia merambat ke Africa, kemudian ke benua Amerika Latin.
Semua itu terjadi kerana faktor keberhasilan dari Indonesia dan Vietnam sebagai percubaan sejarah. Imperium Inggeris, yang kepayahan keluar dari Perang Dunia II dan mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan di Indonesia, melepaskan dadanya dengan jalan damai untuk tidak menjadi payah Iagi. Sebaliknya Indonesia, yang kerana rempah-rempahnya membikin sebahagian terbesar umat manusia dijajah Barat, menyedari tugas sejarahnya dengan mengadakan Afro-Asian Conference di Bandung pada April 1955. Soekarno, seorang yang bukan saja menguasal, bahkan memahami sejarah bangsanya, bukan sekadar tahu tentang materi (isi) dan metode keilmuan sejarah, malah memahami filsafat sejarah dengan pidato anti-imperialismenya Let A New Asia and Africa Be Born telah mengangkatnya menjadi Bapak Dunia Ketiga. Orang suka atau tidak suka, mengakui atau tidak. Dengan Afro-Asian Conference, kekuasaan dan imbangan dunia berubah, bergerak kerana Iahirnya Dunia Ketiga. Menyebut Dunia Ketiga bererti juga menghadapi dunia Barat dengan sejarah penjajahannya sebagai guru musuh atau sahabat. Menyebut Dunia Ketiga tanpa konteks tersebut, adalah menempatkan sebahagian terbesar umat manusia dengan negerinya sebagai persoalan fiktif. Dunia Ketiga tak lain dari anak tak sah imperialisme Barat.
Bapak tidak sah dan anak tidak sah, yang dalam pergaulan internasional tidak bisa berpisahan satu sama Iain mempunyai posisi internasional yang berbeza, pertempuhan dan paran (destinasi) yang berbeza pula dalam jangka waktu tertentu yang dibutuhkan (diperlukan) oleh Dunia Ketiga dalam mendapatkan bentuknya masing-masing. Dan dalam jangka waktu tertentu itu, sekarang kita hidup, maka kerana itu juga dapat menyaksikan sendiri sikap Dunia Ketiga terhadap Barat dan sikap Barat terhadap Dunia Ketiga.
Sikap dunia Barat dapat kita ikuti dari penerbitan-penerbitannya tentang Dunia Ketiga, dengan catatan, bahwa sikap itu belum sikap umum Barat, baru sikap satu golongan yang merasa maju, dan mencuba membébérkan kekurangan-kekurangan Dunia Ketiga kerana belum sampai pada standar yang dimiliki Barat, dan nota bene (perhatikan) tidak Iain dari warisan penjajahan Barat sendiri, di samping memperkenalkan produk Dunia Ketiga yang patut diperkenalkan kepada Barat sebagai bukti produktifnya pengaruh Barat. Belakangan ini muncul rumusan baru tentang Utara-Selatan untuk tidak menyebutkan kata-kata menyakitkan: kaya-miskin. Sebelum yang terakhir ini, Dunia Ketiga diberi nama manis: negeri/negara yang sedang berkembang (membangun). Semua itu untuk menghindari persoalan nurani antara bekas jajahan dan bekas penjajah. Nama-nama yang Ientur (Iunak) dan dilenturkan ini tak Iain dari suatu persetujuan tak terucapkan bahwa Dunia Ketiga berterima kasih pada bantuan yang menguntungkan dari Barat, sebaliknya Barat dengan bantuannya pada Dunia Ketiga mendapat keuntungan Iebih besar Iagi. Di sini kita sekarang berada.
Kaum Intelektual
Apa yang dimaksudkan dengan kaum intelektual bagi saya kurang jelas apakah menurut pengertian kamus ataukah menurut pendapat bebas dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan kata tersebut. Apakah sarjana termasuk intelektual? Apakah setiap orang di antara kita intelektual atau tidak? Apakah kata intelektual itu satu atribut (sifat) dari sebahagian kecil nasion yang merasa diri berpikir Iebih daripada bagian selebihnya?
Kata Sahibul Hikayat yang dimaksudkan dengan kaum intelektual adalah kaum yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama yang diutamakan, yang melihat tujuan akhir upaya manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. Stop, Sampai di situ. Pada akhir Perang Dunia II, ada yang menggugat: bila sampai di situ saja faal (perbuatan) kaum intelektual ertinya penalarannya belum sampai pada suatu tanggungjawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya, terutama pada umat manusia. Kemudian orang menamai kaum intelektual hanya sebagai sport, tanpa keterlibatan diri dengan penalarannya sendiri sebagai: intelektual blanko (kosong). Sehubungan dengan topik yang dikemukakan oleh Senat Mahasiswa FISUI jelas bukan intelektual blanko yang dimaksudkannya, tetapi yang merupakan bagian integral dengan nasionnya sendiri, bagian bernalar nasionnya yang bukan hanya mendapatkan input dari nasionnya juga memberikan output padanya.
Tetapi dalam kehidupan Dunia Ketiga pada umumnya dan di Indonesia khususnya, di mana semua mulai diawali, dibangun dan dikembangkan seirama dengan keperluan nasional faal kaum intelektual bukan sekedar mesin yang menari antara in- dan out-put. Pada mereka dituntut kejelian (keelokan) kepiawaiannya untuk dapat melihat peran dari perkembangan nasional, yang bererti juga kemampuan untuk melihat hari depan. Dan hari depan hanya dapat digalang dengan perhitungan dan amal hari ini. Penalarannya menggunakan reflektor yang tertuju ke depan, bukan tertuju ke belakang sebagai mana dalam kebudayaan purba, kebudayaan animis, dinamis dan pemujaan leluhur, kebudayaan kuburan.
Sebaliknya, kaum intelektual bukan sekedar bagian dari nasionnya. Iapun nurani nasionnya, kerana bukan saja dalam dirinya terdapat gudang ilmu dan pengetahuan, terutama pengalaman nasionnya, juga ia dengan isi gudangnya dapat memilih yang baik dan yang terbaik untuk dikembangkan, memiliki dasar dan alasan paling kuat untuk menjadi resolut (tegas) dalam memutuskannya atau tidak.
Hinduisme telah membagi masyarakat dalam kasta-kasta, yang relevansinya masih terasa. Kaum intelektual berada dalam kasta Brahmin. Hanya bezanya kaum Brahmin moden menempati kedudukan sebagai jambatan pada hari depan. Saya cenderung menempatkan kaum intelektual Indonesia dan Dunia Ketiga dalam pengertian ini.
Sikap dan Peran
Bicara tentang sikap adalah bicara tentang tempat berdiri, bicara tentang tempat berdiri adalah juga bicara tentang jarak yang telah ditempuh. Tempat berdiri pada giliranya hanyalahbagian dan medan yang tak terbatas. Dari tempat berdiri orang menghadapi jarak yang masih harus ditempuh. Sikap adalah faktor dalam yang akan menentukan bagaimana jarak di depan akan ditempuh. Akan dalam kamus politik diucapkan : bagaimana sebaiknya, kerana itu soal operasional.
Berdasarkan materi (bahan) yang telah dikedepankan, sikap yang sepatutnya diambil:
a) meninggalkan sama sekali budaya kuburan dan mengambil penalaran sebagai satu-satunya jalan membina hari depan, dan dengan demikian secara aktif membangun budaya nasional yang moden.
b) tetap kritis terhadap potensi pengaruh buday suku yang kalah dan mengajak kalah.
c) berlatih berani untuk mendapatkan keberanian intelektual kerana tanpa keberanian intelektual, kaum sudah lumpuh sebelum memutuskaben. Sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia hanya kerana keberanian revolusioner, maka tradisi keberanian revolusioner juga merupakan unsur menentukan dalam kehidupan kaum intelektual Indonesia.
d) sebagai intelektual Indonesia, tempatnya adalah pertama-tama sebagai manusia Indonesia, sebagaimana budaya Indonesia. Manusia budaya Indonesia berada dalam jajaran Dunia Ketiga, sedang Dunia Ketiga ada kerana diperhadapkan dengan Barat. Kaum intelektual Indonesia yang terIepas dari hubungan dengan Dunia Ketiga dan terlepas dari perhadapannya dengan Barat sebagai produk sejarah akan kehilangan sebagian dari kemampuan penalarannya yang objektif, kerana mereka tanpa sedarnya akan terlepas dari ikatan sejarah, ikatan pengalamannya sendiri.
e) Barat menjadi bongkak kuasa, bongkak kemajuan dan bongkak kemakmuran sehingga menjadi seperti sekarang ini dengan produk terbaiknya dalam bentuk demokrasi parlimenter dan hak asasi adalah atas biaya seluruh Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.
Maka dari pengalaman sejarah ini, kita punya hak menuntut dari Barat pertanggung jawaban moral dengan konsekuensinya yang wajar dan manusiawi. Kaum intelektual Indonesia kerananya diajak pertanggungan jawaban historis.
Atas dasar ini, Barat sudah sepatutnya melepaskan pandangan menara-gadingnya yang menganggap haknya bahwa Dunia Ketiga harus menjadi pengikutnya. Sebaiknya Barat merobohkan menara-gadingnya dan menggantinya dengan pengertian yang lebih manusiawi dalam membantu Dunia Ketiga untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan robohnya menara gading itu pula, bisa diharapkan Barat melepaskan pandangan. Baratnya dan standar Baratnya dalam menilai Dunia Ketiga dengan perkembangannya.
f) Kaum intelektual Indonesia dalam berlatih memperkuat keberanian intelektual dan keberanian moral juga dituntut untuk selalu membikin perhitungan dengan masa lalunya sebagai bangsa, belajar untuk menghadapi Barat bukan sebagai superior, tetapi sebagai lembaga yang dalam beberapa abad belakangan ini menerima piutang paksa dari Dunia Ketiga. Kaum intelektual Indonesia, sebagai manusia budaya Indonesia sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan keberanian moral terhadap Barat untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik dan berguna, teknologi dan sains, bukan sebagai hadiah kemanusiaan seperti halnya dengan Van Deventer dengan politik etiknya, tetapi semata-mata kerana dengan kebudayaan purbanya, dengan budaya sukunya yang kalah dan dikalahkan, dengan budaya Indonesia yang baru seumur jagung, terutama juga dengan budaya Barat.
Praktiknya, terus-menerus yang menjamin Iahirnya kedibyaan (genialitas) sehingga keintelektualan bukan tinggal jadi atribut sosial, tapi faaliah, fungsional, dan membikínnya patut jadi penalaran dan nurani nasion.
g) Akibat dari sikap yang diambil terhadap Barat membikin kaum intelektual Indonesia tidak bisa lain pada menata kembali dan mengorganisasi secara sedar perasaan pikirannya dalam membangun lebih lanjut budaya Indonesia dalam segala aspeknya justru di sini peran yang menentukan kaum intelektual Indonesia.
h) Kekuatan peradaban barat yang mampu berkembang dan bertahan berabad dalam sejarah umat manusia sudah sepatutnya dipelajari secara kritis. Pemberiannya pada umat manusia tak terhingga banyaknya. Sebaliknya kerasakan yang diakibatkannya pada Dunia Ketiga juga tak terhingga banyaknya. Kita tahu bahwa kekuatannya terletak pada kekuatannya individu Barat, sedang pada gilirannya individu Barat diasuh oleh demekrasinya dan diayomi (dibantu) oleh hak-hak asasinya, yaitu individu yang oleh Chairil Anwar dinyanyikannya sebagai aku… yang dari kumpulannya terbuang, kerana menolak pembebekan (sifat mengekor). Dari pelajaran Barat, Indonesia juga bisa kuat dengan individu manusia Indonesia yang kuat, sehingga dalam konteks pembicaraan kita menjadilah aku… yang dengan kumpulannya berpadu, yang untuk itu telah disediakan pegangan dan medan oleh Pancasila.
i) Terhadap Dunia Ketiga sebagai jajaran sendiri, sebagai seperasaian (mempunyai nasib sama) dalam sejarah, sebagai rakan seiring dalam memecahkan masalah-masalah yang diwariskan oleh kesamaan historis, menanggalkan sikap tak acuhan yang terkunci, sedang pandangan bahwa diri lebih maju dari yang lain adalah suatu kemewahan. Kesepakatan antara Dunia Ketiga akan mempercepatkan lahirnya kesatuan bahasa. Pengalaman berabad dalam praktik devide et impera (pecah dan perintah) Barat bukan tidak menjadi watak peradaban dalam menghadapi dunia non-Barat. Kerana itu semangat Dunia Ketiga, atau yang pernah juga disebut semangat Asia-Afrika, kemudian menjadi semangat Asia-Afrika-Amerika Latin, bukan semestinya menjadi semakin pudar untuk kerugian Dunia Ketiga. Sukarno telah melampaui masanya waktu ia – bukan sekedar gagasan mencuba mewujudkan Ganefo dan Conefo, tetapi dalam situasi dunia sekarang ini dengan masalah Timur-Barat, Utara-Selatan, Dunia Ketiga-dunia selebihnya yang semakin akut dengan semakin mengecilnya dunia kita, keseiaan Dunia Ketiga jelas merupakan kebutuhan. Sekalipun, ya, sekalipun, perkembangan Dunia Ketiga dalam dasawarsa terakhir memerlukan batasan dan rumusan baru.
j) Peran kaum intelektual Indonesia sudah jelas. Gagasan perjuangan untuk melahirkan bangsa Indonesia diawali oleh mereka dengan kesadaran akan komitmennya dengan bangsanya, dengan kejelian dan kopiawaiannya tentang perang bangsanya. Gagasan dan praktik terus-menerus melahirkan Indonesia merdeka. Dengan praktik intelektual keintelektualan menjadi kuat, dengan praktik otot (tenaga), otot menjadi kuat. Seindah-indah gagasan yang tidak dicuba-wujudkan oleh otot dan dengan otot akan berubah menjadi roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) – roh jahat yang menjadikan orang jadi munafik.
k) Kaum intelektual, sebagai nalar dan nurani nasion, adalah berkasta Brahmin dalam pengertian moden. Dan moden selalu senyawa dengan demokratis, dengan, demikian kehilangan kedudukannya dari hierarki Hindu. Faal bernolar, berpikir dengan inteleknya secara alami, tidak beza dari fungsi-fungsi kasta Iain dalam masyarakatnya, yakni melakukan proses bio-kimia. Tetapi proses biokimia yang tahu paran. Untuk bisa tahu tentang paran sebelumnya, orang dituntut tahu tersangkarnya, tentang asalnya, tentang historisnya.
Tulisan ini dikirim pada pada Kamis, November 18th, 2010 22:53 dan di isikan dibawah sosial-politik. Anda dapat meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback dari website anda.
No comments:
Post a Comment